*Oleh: Ria Fitriani (MPKPK HMI Psikologi UMM)
Terbayangkah kita tentang bagaimana menjadi seseorang yang pintar namun sesungguhnya kepintaran kita adalah hasil rekayasa publik yang sama sekali tak ada gunanya, selama kita masih bisa membaca, menulis, dan menghafal teori-teori tentang ilmu yang kita pelajari maka kita akan dianggap pintar, namun sadarkah kita bahwa sesungguhnya hegemoni politik bermain dalam sistem pendidikan di negara ini, yang nyata-nyatanya mendapat peringkat 38 dari 39 negara pada pendidikan setingkat SD, matematika tingkat SLTP mendapat rangking 39 dari 42 negara, kemudian IPA hanya mendapati peringkat 40 dari 42 negara peserta yang mengikuti tes yang diadakan oleh International Educational Achievement (IEA). Peserta didik hanya dibiarkan berkutat pada teori namun tak pernah ditunjukkan fenomena yang sesungguhnya terjadi.
Sebenarnya di Indonesia ini banyak pelajar yang pintar buktinya pada masa pemerintahan BJ. Habibie dulu sempat berlangsung pertukaran pelajar antar negara, namun itu pun tak berlangsung lama. Politik kembali merenggut kesempatan anak bangsa untuk “dipintarkan”. Tentu kita pernah mengalami pergantian sistem pendidikan dari kurikulum 45, lalu menjadi KBK, sekarang bahkan maraknya sistem Akselerasi. Apakah semua itu effektif, justru terkesan mencoba-coba, apalagi dengan sekolah Akselerasi yang digunakan sekarang. Negara maju seperti Amerika malah sudah lama meninggalkannya, karena dari hasil penelitian ternyata siswa hasil akselerasi malah tidak matang baik dari segi pelajaran maupun psikis, mereka yang harusnya memiliki kematangan secara bertahap dan sesuai urutannya malah disuruh melompat dari tahap perkembangannya, akibatanya banyak siswa yang stress dan tidak siap menghadapi tekanan yang memang dari tahap perkembangannya belum saatnya dijalani. Indonesia terkesan membanggakan hal yang belum pasti kebenarannya. (more…)